05 Juli 2010

silvia 'cipa' aria s: Selamat Datang dan Selamat Jalan

silvia 'cipa' aria s: Selamat Datang dan Selamat Jalan

Selamat Datang dan Selamat Jalan

Toneng...toneng.. Perlahan tapi pasti palang besi yang umumnya bercat merah putih itu memosisikan diri di saat istirahat siang awal pekan itu, Senin (21/6) jam 12.17 WIB. Biarpun ada beberapa orang yang masih “nekat” lalu lalang di bawahnya, ia tetap menunduk sedikit demi sedikit untuk memberikan pelayanan terbaik untuk Sang Kereta Api. Kadangkala kita tidak memperhatikan, apakah jalan yang kita lalui aman atau tidak dari gangguan dari segala macam kendaraan berat seperti truk-truk besar, bus, termasuk kereta api. Dan kelalaian dalam berkendara seperti ini tak jarang menyebabkan kecelakaan kecil, bahkan besar. Kita tentu masih ingat pada peristiwa yang cukup mencengangkan yang melibatkan sembilan mahasiswa dari beberapa universitas di Malang. Mereka harus rela menyerahkan nyawa di daerah Batu dengan mengendarai sebuah mobil berkecepatan tinggi yang pada akhirnya menabrak sebatang pohon yang tidak begitu besar. Ini merupakan salah satu contoh saja. Di luar itu, masih banyak masyarakat kita yang harus kehilangan sanak saudara, teman, atau calon pengantin akibat kecelakaan di atas moda transportasi. Wajar rasanya jika moda transportasi semacam mobil, motor, becak, dan sejenisnya, yang bisa menggunakan jalanan seenaknya rentan terhadap kecelakaan. Namun, yang kita sesalkan kecelakaan yang melibatkan kereta api, kendaraan pemilik jalan khusus, juga tidak luput dari kejadian-kejadian naas. Beberapa kejadian yang saya himpun dari berbagai media online menunjukkan bahwa kecelakaan di rel kereta api (KA) juga terbilang ‘laris’. Tercatat sejak Februari tahun lalu hingga kini ada 12 kecelakaan yang ada embel-embel kereta apinya. Entah berapa yang tidak tercatat atau bahkan sengaja tidak dicatat. Selanjutnya, kita hanya bisa bertany ”Bagaimana bisa?”. Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan kecelakaan pada KA. Seperti yang terjadi di wilayah Lawang, Kabupaten Malang, bukan karena kesalahan masinis, kesalahan jadwal pemberangkatan dari pihak stasiun atau lain hal yang berkaitan dengan teknis. Berita ini bahkan sempat menjadi bulan-bulanan masyarakat, karena ada warga sekitar yang sedang menggembalakan kerbaunyalah yang ternyata menjadi pemicunya. Seekor kerbaunya yang tanpa menoleh kanan-kiri saat menyeberangi rel KA, menyebabkan kerugian mencapai Rp 10 miliar. Jarum jam menunjukkan pukul 19.30 WIB. Sutrisno (55), seorang penjaga pos penjaga lintasan KA (PJL KA) 73 mengatakan, ”Sebenarnya kecelakaan bisa terjadi karena kesalahan dari pihak yang memberangkatkan.” Ia beranggapan bahwa kejadian tabrakan antar KA dan kereta anjlok misalnya, merupakan tanggung jawab dari stasiun yang memberangkatkan. Setiap stasiun seharusnya mengecek ulang segala sesuatunya dari tiap-tiap seksi untuk memastikan bahwa KA siap untuk melayani masyarakat seratus persen. Termasuk diantaranya mengecek kelayakan jalur, rel, masinis, dan KA itu sendiri. Akan tetapi, tetap saja ada beberapa hal yang patut kita curigai menjadi pemicu dari insiden yang menimpa KA. Seperti yang terjadi di Kediri, seorang pelajar SMAN Papar harus meninggalkan keluarga dan teman-temannya karena disambar KA Rapi Dhoho jurusan Kediri-Surabaya 22 Juni 2010 lalu. Dhani Alfan (15), seperti yang diberitakan Antara Jawa Timur News, melintasi jalur KA yang tidak ada palangnya. Nah, dimana palangnya? “Cuma pos-pos yang ada nomornya yang disana ada perlintasannya. Kalau tidak ada perlintasannya, biasanya masyarakat sendiri yang harus waspada. Kita hanya memberikan rambu hati-hati. SDMnya ga cukup kalau tiap persimpangan ada pos sekaligus penjaganya.” papar Sutrisno saat ditanya mengenai jumlah perlintasan yang tersedia. DATA KECELAKAAN KA 23 Februari 2009 : Bus patas PO Harapan Jaya jurusan Tulungagung-Surabaya tertabrak KA Rapi Dhoho di perlintasan kereta Jalan Raya Brigjen Katamso, Kota Kediri. 11 Agustus 2009 : KA Mutiara Timur Anjlok di Kabupaten Pasuruan, tujuh orang terluka. Jadwal lima KA lain dibatalkan. 4 September 2009 : Akibat menabrak kerbau, masinis KA Penataran jurusan Blitar-Surabaya meninggal. Lima orang luka ringan, satu orang luka berat, bantalan rel rusak, dan tembok PT. Bentoel rusak akibat terhantam lokomotif. Kerugian ditaksir mencapai Rp 10 M. 28 Oktober 2009 : Di wilayah Jakarta Timur sebuah KA menabrak mikrolet. Tiga orang dilaporkan mengalami luka berat. 8 Maret 2010 : Di pintu perlintasan Jalan Garuda, Bandung KA Patas Baraya Geulis menghantam tiga motor dan mengakibatkan satu orang meninggal, satu kritis, dan satu selamat. 3 Mei 2010 : Empat orang meninggal dunia setelah ditabrak KA Bangun Karta jurusan Jombang –Jakarta 18 Mei 2010 : Seorang bocah berusia sekitar 10 tahun tertabrak KA Argo Dwipangga di daerah Banyumas, Jawa Tengah. 19 Mei 2010 : KA Eksekutif Gajayana jurusan Jakarta-Malang menabrak angkutan barang (ledok) akibat tidak adanya perlintasan di Desa Kromasan, Tulungagung. 20 Mei 2010 : Diduga sedang memakai headset seorang mahasiswi Universitas Indonesia (UI) meninggal dunia ditabrak KA. 10 Juni 2010 : Seorang pengendara sepeda motor terenggut nyawanya setelah tertabrak kereta rel listrik di perlintasan antara Bintaro dan Ulujami. Selain itu, kemacetan juga terjadi di sekitar tempat kejadian. 22 Juni 2010 : KA Rapi Dhoho jurusan Kediri-Surabaya menabrak seorang pelajar hingga tewas di salah satu perlintasan di Kediri. 24 Juni 2010 : Kecelakaan antara kereta api ekskutif Rajawali dengan jurusan Surabaya-Semarang bertabrakan dengan Kereta Api barang yang berangkat dari Bojonegoro menuju Surabaya mengakibatkan dua korban meninggal dunia. Sumber : Berbagai media Di wilayah kekuasaan PT. KAI Stasiun Kota Baru, hanya terdapat empat pos penjaga lintasan saja. PJL 71, 73, 84, dan 90 berada di sepanjang jalur Bandung-Malang. Tanggung jawab yang tidak mudah Bicara masalah istilah, kalau kita menyebut ‘palang’ atau ‘portal’, ternyata orang-orang perkeretaapian akan langsung menegur kita. Istilah yang tepat digunakan untuk menyebut penutup jalan saat KA akan melewati jalan di depan kita adalah ‘perlintasan’. Seperti kebanyakan oang katakan, ‘Beda istilah, beda arti’. Jadi, jangan anggap remeh yang namanya istilah! “Kalau kita nyebutnya portal, nanti keliru sama marka jalan atau yang biasanya ada di perumahan itu.” jelas Kasmuri, teknisi mekanik di Stasiun Kota Baru Malang, Senin (21/6). “Terus kalau posnya itu bukan pos palang kereta api, tapi pos penjaga lintasan (PJL).” tambah Sriyanto, Staff Resor Jalan Rel 813 Malang. Dalam setiap PJL dimanapun itu, harus ada sarana dan prasarana yang bisa menunjang terlaksananya tugas melancarkan jalannya KA. Peralatan yang modern maupun klasik, boleh menjadi alternatif untuk mempersenjatai para penjaga PJL. Diantaranya : telepon, genta - tabung besar yang biasanya mengeluarkan bunyi seperti alarm, skep – alat yang bentuknya seperti bed pada tenis meja namun lebih besar dan panjang batang pegangannya, perlintasan – yang sudah otomatis memakai saklar maupun yang manual dengan menggunakan tali dan beberapa alat pendukung lain. Penggunaan alat-alat tersebut tentu tidak boleh digunakan dengan sekehendak hati. Sutrisno menjelaskan bahwa hal pertama yang harus dilakukan jika jadwal KA sudah tiba adalah membunyikan genta terlebih dahulu. Toneng..toneng..toneng.. Lalu akan ada telepon dari stasiun pemberangkatan untuk menginformasikan berapa menit lagi kereta akan lewat, jenis kereta dan nomor kereta. Barang ini cukup menarik, peninggalan dari bangsa Belanda, tidak ada satupun digit nomor yang ada pada tubuh telepon berwarna cokelat polos ini. Kalau kita ingin menghubungi stasiun atau sebaliknya, terlebih dahulu kita harus memutar tuas yang ada di samping telepon. Seperti mainan kotak musik jaman dulu, akan berbunyi kalau kita sudah memutar tuasnya. Benar-benar kuno. Tidak lupa untuk menyalakan alarm tanda kereta akan lewat, menyalakan saklar menurunkan perlintasan agar tertutup tepat kurang lebih 5 menit sebelum KA melintas. Barulah 3-5 menit kemudian ‘tamu’ yang ditunggu melintas juga. Yang harus diwaspadai adalah memastikan tidak ada orang yang terkena perlintasan kita dan memastikan pula tidak ada orang yang terjebak di tengah perlintasan. Tidak behenti sampai disitu, sang penjaga PJL juga harus selalu memperhatikan ‘semboyan 21’ yang ada pada gerbong terakhir pada tiap rangkaian KA. Karena semboyan 21 merupakan penanda bahwa gerbong tersebut adalah rangkaian akhir dan perlintasan bisa dipersiapkan untuk dibuka kembali. Ada pula istilah ‘semboyan 35’. Sejauh kurang lebih 500 meter sebelum PJL, masinis juga harus membunyikan alarm penanda pada penjaga PJL bahwa KA akan lewat yang disebut dengan semboyan 35 itu. 12 jam per hari Di dalam ruangan seluas 2x2,5 meter, Sutrisno dan rekan seprofesinya di PJL 73 bertugas. Di sudut ruangan ada meja kayu kecil, tempat meletakkan televisi kuno hitam-putih Polytron 14 inch. Dan secangkir kopi yang siap menemani hari-hari panjang penjaga PJL. Bagaimana tidak, seperti Sutrisno ini, pria yang sudah melakoni pekerjaan ini selama 35 tahun dan rencananya akhir tahun ini akan pensiun, harus bekerja 12 jam per hari dengan hanya 1 kali libur tiap minggunya. Mereka mengawasi disana dari jam 06.30-18,30 atau 18.30-06.30 keesokan harinya tanpa ada tempat tidur yang bisa dijadikan tempat meluruskan punggung sejenak dengan nyaman. Yang ada hanyalah satu bangku kayu berlapis potongan karpet dan kain, tidak begitu panjang, dengan sebuah bantal lusuh berwarna cokelat yang ada di atasnya. Ketika ditanya kenapa tidak disediakan tempat tidur kecil di situ, Sutrisno malah tertawa seraya berkata “Lha kalau begitu, kita nggak jaga nantinya, malah tidur!”. Malam itu, bertepatan dengan hari Selasa 22 Juni 2010, Sutrisno kebagian jaga malam hingga pagi. Ada secangkir kopi, sirup dan sekotak rokok siap menemani pria dengan penampilan tinggi besar ini. Sepertinya orang-orang disini gemar sekali merokok, terlihat ada 63 kotak bekas tempat rokok Gudang Garam berbaris rapi di atas teralis jendela ruangan yang catnya sudah tidak bisa dibilang biru lagi karena sudah buram. Mungkin terpengaruh oleh kereta api lawas, yang selalu mengeluarkan asap dari cerobong asapnya. Manusianya pun suka selalu mengeluarkan asap dari ‘cerobong’ versi manusia. Bagaimanapun juga, Sutrisno bersama 3 rekannya, Abdul Rochman, Suprajitno, dan Agus Santoso inilah yang harus kita acungi jempol. Tiap harinya ada 25 KA baik barang maupun penumpang yang memotong jalan di tengah Pasar Kebalen Kota Malang ini. Dan merekalah yang membantu kita agar tidak menyapa KA dari arah depan tapi cukup hanya dari arah samping saja. Menikmati pekerjaan Siapa bilang menjadi penjaga PJL pekerjaan yang mudah? Mungkin pada awalnya, kita akan menilainya seperti itu. Sama halnya dengan apa yang dirasakan Sutrisno saat pertama kali mendapatkan pekerjaan ini setelah lulus dari STM jurusan mesin. Kecewa, satu kata yang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Gaji pertama yang diperolehnya di tahun 1974 , hanyalah Rp 6.400. Ia ditempakan di Lawang, Singosari, Blimbing, Pakisaji, sebelum akhirnya dipindahkan ke Jodipan. Ia menyayangkan dulu pada waktu ditawarkan beberapa pilihan jabatan di PT. KAI, lelaki dengan tiga anak ini sama sekali tidak berani menanyakan apa sebenarnya tugas pada masing-masing jabatan yang diistilahkan dengan simbol-simbol tertentu seperti huruf ‘D’ untuk bagian jalan bangunan dan servis rel. Tapi yang namanya pekerjaan, bagaimanapun remehnya di mata kita, ternyata merupakan rantai kecil yang terhubung dengan rantai yang lebih besar. Hal ini pula yang menjadi salah satu pemikiran Sutrisno yang tidak begitu suka kerja di kantoran, menjalani profesi ini sama halnya dengan menyelamatkan nyawa banyak orang. Sekaligus membuatnya selamat dari terkekang berkerja di dalam kantor. “ Kalau disini kan bebas, bisa sambil ngobrol dengan masyarakat sekitar, bisa sambil ngopi. Dinikmati sajalah.” ungkapnya santai. Tidak heran pria yang mengaku hobi memancing ini terlihat akrab bercengkrama dengan beberapa orang yang sedang nongkrong dekat pos PJL. Salah satu diantaranya, Santoso pun dekat dengan Sutrisno sejak ia kecil. “Pak Tris itu baik orangnya. Saya dari kecil, orangnya sudah kerja disini.” terang Santoso, yang bekerja sebagai penjual sepatu di dekat PJL 73. Bahkan Santoso juga diajarkan bagaimana cara mengoperasikan alat-alat disana. Mulai dari menyalakan genta hingga membuka kembali pintu perlintasan. Bahkan pada saat Sutrisno terpaksa harus keluar sejenak, padahal ada KA yang akan lewat, Santoso dengan cekatan menggantikan tugasnya. Keadaan darurat sepertinya harus tetap kita maklumi. Karena kalau dilihat dari Rincian Pelaksanaan Pekerjaan PJL yang terpampang di dinding sebelah jendela, pada poin 12 “PJL tidak dibenarkan meninggalkan tempat (mewakilkan kepada orang lain) tanpa ada ijin dari atasan langsung.” Sebenarnya, meskipun PNS golongan II B bersama rekan seprofesinya ini telah menjalankan tugasnya dengan baik, tidak menutup kemungkinan ada hal lain yang bisa menyebabkan kecelakaan KA. Salah satu yang paling sering menjadi pemandangan di sekitar kita adalah adanya pelanggaran dari pengguna jalan itu sendiri. Sebelum perlintasan dibuka, banyak pengendara yang langsung menerobos. Padahal kalau kita melihat kembali kejadian yang menewaskan satu orang pengendara sepeda motor di Bandung pada Bulan Maret lalu, yang mengetahui apakah KA sudah semuanya lewat ataukah belum adalah PJL. Ternyata ketiga pengendara ini ‘sok tahu’ dan akhirnya menerobos perlintasan setelah satu kereta telah lewat. Sedangkan ada satu KA lagi yang melaju di rel yang lain. Oleh karenanya, celah yang dimanfaatkan mereka untuk menerobos itu tidak lain menjadi celah marabahaya. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kejadian tersebut, adakalanya kita mengalah demi sesuatu yang lebih kuat daripada kita. Belum pernah kita mendengar cerita antara KA dengan bus atau truk besar sekalipun, KA-nya rusak parah sementara bus atau truknya sehat wal’afiat.