12 Rabiul Awal merupakan hari dimana nabi besar Muhammad SAW dilahirkan. Dalam bulan tersebut, umat manusia banyak mendapatkan berkah dan nikmat dari Allah SWT. Masyarakat pada umumnya mengenal peristiwa tersebut dengan sebutan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun, istilah tersebut ternyata tidak berlaku pada masyarakat Jogjakarta dan Solo, mereka menyebutnya Sekaten. Sekatenan itu sendiri bukan merupakan upacara keagamaan biasa seperti yang dilakukan di wilayah lain saat memperingati Maulid Nabi, namun upacara Sekaten Jogja ini digelar selama satu minggu penuh dan berakhir tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal dengan ritual-ritual tertentu. Bahkan tidak hanya serangkaian upacara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan pada pekan itu, namun juga dimeriahkan dengan berbagai acara yang nampaknya mampu menyedot masa yang bukan hanya di kalangan umat Islam saja, melainkan umat agama lain dari berbagai penjuru daerah. Beberapa masyarakat kuno beranggapan bahwa perayaan sekaten ini bisa memperpanjang umur.
Upacara sekaten ini dilakukan selain sebagai wujud penghormatan umat Islam terhadap Nabi Muhammad yang telah mensyiarkan agama islam hingga sampai kepada kita sehingga kita menuju jalan yang diridhoi Allah SWT, namun juga merupakan suatu sarana pelestarian adat yang sudah berkembang sejak zaman kerajaan Islam di Demak sekitar abad ke-15. Salah satu wali songo, yaitu Sunan Kalijaga, menciptakan alat musik tradisional atau gamelan guna menarik perhatian para warga agar mereka mau berkumpul. Karena pada jaman tersebut, jarang sekali terdengar bunyi-bunyian merdu, maka tak ayal, suara gamelanpun jadi salah satu kegemaran masyarakat sekitar keraton. Sunan Kalijaga membuat lagu-lagu yang dia buat sendiri untuk mengumpulkan para warga dalam suatu majelis, setelah masyarakat cukup banyak yang berkumpul beliau melakukan ceramah-ceramah agama yang bertujuan menyebarkan agama Islam. Sekaten sendiri memiliki dua arti, berasal dari kata “syahadatain”, karena tujuan akhir pengumpulan para warga oleh Sunan Kalijaga tersebut adalah mengajak mereka mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat mutlak untuk memeluk agama Islam. Ada pula yang mengartikannya dari kata “sekati”, yang berarti dua buah gamelan yang bernama Kyai Sekati dan Nyai Sekati.
Sekaten memiliki serangkaian acara yang dimulai dengan penabuhan gamelan pertama kali dari dalam keraton. Kemudian, gamelan dipindahkan ke halaman masjid agung alun-alun utara kota yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Masjid Gedhe. Gamelan tersebut terdiri dari dua perangkat gamelan, yang bernama Kyai Guntursari dan Kyai Nogowilogo (Keraton Jogja) serta Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu (Keraton Surakarta). Masing-masing ditempatkan di “pagonan” selatan dan pelataran utara masjid. Di dalam Masjid Gedhe diadakan pengajian yang dihadiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono selaku sultan dan para pengiringnya. Setiap hari selama satu minggu penuh menjelang upacara Grebeg, kecuali pada hari Kamis malam sampai Jumat siang, gamelan ditabuh oleh para abdidalem keraton. Selama itu pula, wisatawan dari berbagai penjuru berbondong-bondong datang untuk melihat dan ikut serta meramaikan acara sekaten ini. Karena disamping acara penabuhan gamelan di Masjid Gedhe, di alun-alun utara Kota Jogjakarta juga diadakan semacam pesta rakyat. Berbagai macam makanan, hasil kerajinan, serta pertunjukan disuguhkan di dalamnya. Sehingga, tak heran jika masyarakat Jogjakarta sangat menantikan acara sekaten ini, karena hanya satu kali dalam setahun didapati kota mereka sangat ramai dengan wisatawan di samping warga di sekitar wilayah Jogjakarta. Pada hari terakhir, atau tepatnya pada Maulud Nabi Muhammad SAW, diadakan upacara grebeg di keraton Jogjakarta dan diadakan arak-arakan dua buah gunungan yang diiringi prajurit-prajurit keraton menuju halaman Masjid Gedhe. Sesampainya di halaman masjid, kedua gunungan tersebut yang diberi nama Gunungan Jaler dan Gunungan Estri ini diletakkan di halaman depan masjid dan bersama-sama akan dipanjatkan doa, mengucap syukur terhadap Allah SWT dan meminta kesejahteraan serta berkah dari-Nya. Setelah doa selesai dipanjatkan, kedua gunungan tersebut diserahkan kepada pemimpin masjid oleh sultan dan kemudian masyarakat boleh mulai merayah (memperebutkan) isi dari gunungan tersebut. Acara ngrayah gunungan sendiri dinilai sebagai simbol ‘tutur slamet’, yang bermakna sebagai wujud rasa terima kasih sri sultan terhadap rakyatnya. Ngrayah gunungan merupakan acara puncak yang menandai berakhirnya grebeg. Rangkaian acara sekaten ditutup dengan dikembalikannya perangkat gamelan ke dalam keraton untuk disimpan hingga perayaan sekaten berikutnya.
Pada masa kerajaan Hindu, masyarakat sangat memuliakan gunung karena dipercaya sebagai tempat para dewa. Terdapat dua buah gunungan, yaitu Gunungan Jaler yang merupakan simbol Gunung Merapi dengan bentuknya yang kerucut tinggi dan Gunungan Estri yang merupakan simbol Laut Selatan dengan bentuk datar. Ternyata, apabila ditarik garis lurus antara Gunung Merapi dengan Laut Selatan, perpotongan antara keduanya adalah keraton. Pada awal perayaan sekaten, gunungan dibagikan secara merata ke seluruh penduduk, namun, karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, sedangkan isi dari gunungan juga terbatas, maka pembagian gunungan diganti dengan acara rayahan. Barang siapa yang mendapatkan bagian dari gunungan tersebut, maka dipercaya akan mendapatkan berkah selama satu tahun tersebut. Selain itu, juga ada kepercayaan apabila mengunyah sirih pada saat gamelan ditabuh, maka akan awet muda. Sedangkan bagi orang yang memakan nasi gurih dan endhog abang (telur bebek atau telur ayam rebus yang diberi warna merah) sebagai rasa syukur, nantinya akan mendapatkan berkah dari Allah SWT. Maka dari itu, tidak heran jika banyak sekali orang-orang yang berjualan nasi gurih dan sirih yang dibentuk kerucut dan dihiasi dengan bunga kanthil di sekitar masjid.
Sebenarnya acara grebeg tidak hanya dirayakan pada saat sekaten saja, namun juga diadakan Grebeg Idul Fithri dan juga Grebeg Idul Adha. Acara seperti ini merupakan salah satu sarana pengembangan ajaran agama Islam. Bukan hanya itu, namun juga pelestarian kebudayaan daerah yang pelaksanaannya berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Efek yang ditimbulkannyapun tidak bisa dianggap remeh, rangkaian upacara sekaten yang pada akhirnya dirangkum dalam acara Jogja Expo Sekaten (JES) oleh pihak pemerintah setempat, bisa meningkatkan devisa daerah karena banyaknya wisatawan baik domestik maupun mancanegara, meningkatkan perekonomian penduduk setempat yang mencari nafkah dengan berdagang saat acara tersebut berlangsung, sarana hiburan rakyat, serta sarana bertemunya beragam nilai-nilai budaya tradisional dan budaya modern.
Tumbuh kembangnya pemikiran tokoh masyarakat mengenai nilai komersial JES, sempat membelokkan arah tujuan dari upacara adat itu sendiri. Namun, pihak pemerintah mampu menegaskan kembali apa yang menjadi poin dari JES, yakni pelestarian budaya yang sudah ada sejak lama, media penyebarluasan ajaran agama Islam, dan juga peringatan hari kelahiran Nabiullah Muhammad SAW. Era globalisasi juga menimbulkan beberapa perubahan pada sekaten ini. Dikarenakan segala sesuatu yang bersifat konsumsi publik juga harus mengikuti perkembangan jaman agar masih bisa dikecap oleh seluruh lapisan masyarakat. Berbagai perubahan yang terjadi antara lain: media musiknya, yang dulunya hanya menggunakan perangkat gamelan, sekarang dipadukan dengan beberapa alat musik modern, bentuk upacaranyapun juga tidak lagi kesenian Jawa-Islam, namun berkembang menjadi ajang promosi niaga, selain itu juga tujuan sekaten tidak lagi murni untuk kepentingan penyebaran agama Islam, melainkan dititikberatkan pada promosi wisata.
Salah satu upaya perbaikan mutu dari JES, yang dulunya format JES hanya disusun oleh pemkot dan beberapa ahli budaya, namun, saat ini perumusan format JES juga melibatkan beberapa bagian dari masyarakat. Sehingga, aspirasi rakyat mengenai bagaimana jalannya acara, bagaimana pandangan masyarakat mengenai JES dapat tersalurkan dan dapat dipertimbangkan demi terciptanya acara yang lebih baik menurut semua pihak dan nilai luhur dari sebuah upacara keagamaan yang telah dicampuri oleh gaya metropolitan itu sendiri masih tetap dapat terpelihara. Karena bagaimanapun juga, kesakralan suatu tata adat jangan sampai tertindas lalu hilang hanya karena bisnis yang hanya mementingkan materi semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar