15 Juni 2009

^phobia^

Banyak sekali orang yang takut akan ketinggian (akrofobia), takut berada dalam ruang yang sempit (klaustrofobia), dan istilah-istilah lain yang menerangkan tentang rasa takut yang berlebihan yang dimiliki seseorang. Pikiran atau rasa takut tersebut dinilai tidak umum bagi orang lain yang tidak mengalaminya, oleh karenanya seringkali orang lain sulit untuk memahami dan memberikan simpati atas apa yang diderita oleh seorang fobik. Istilah fobia, berasal dari kata Yunani phobos yang berarti “kengerian” atau “horor”.

Empat abad sebelum Masehi, Hipocrates, bapak ilmu kedokteran modern, pernah menggambarkan pasiennya “…tidak bisa mendekati tebing yang curam atau melintasi jembatan, atau berada di tepi parit yang terdangkal sekalipun”. Kemudian kita mengenal istilah akrofobia saat ini sebagai sebutan bagi orang yang takut akan ketinggian. Fobia merupakan suatu perasaan ketakutan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak memperlihatkan ancaman yang sejati terhadap kelangsungan hidup kita. Respon yang terjadi lebih kepada mental penderita, terkadang didukung oleh respon fisik yang berupa mual, gemetar, keringat, berdebar-debar, yang sangat mendukung bertambah parahnya fobia yang dialami penderita.

Semua orang bisa saja memiliki satu atau dua fobia terhadap apa saja di dunia ini. Banyaknya sumber yang menjadi penyebab fobia ini memunculkan pula banyaknya istilah yang kita ketahui saat ini. Istilah-istilah tersebut kesemuanya berasal dari bahasa Yunani. Yang diantaranya adalah:

1. air : hidrofobia 9. halilintar : keraunofobia

2. angka tiga belas : triskaidekafobia 10. hantu : fasmofobia

3. api : pirofobia 11. jenggot : pogonofobia

4. buku : bibliofobia 12. kegelapan : akluofobia

5. cacing : helmintofobia 13. kematian : nekrofobia

6. cina : sinofobia 14. matahari : helofobia

7. darah : hematofobia 15. perkawinan : gamofobia

8. garukan : akarofobia 16. Tuhan : teofobia

(diambil dari Phobias and Obsessions, Joy Melville)

Beberapa tokoh ternama dunia ternyata juga merupakan seorang fobik. Diantaranya ada Ratu Elizabeth I yang menderita fobia mawar, Raja James I yang fobia pedang, William Shakespeare yang dikatakan sebagai penderita kecemasan fobik, Pascal menderita agoraphobia (fobia tempat terbuka), dan Freud yang juga merupakan salah satu ahli psikologi menderita hodofobia (bepergian jauh). Masih banyak lagi tokoh-tokoh ternama dunia yang menderita fobia, bahkan mungkin banyak pula orang-orang di sekitar kita yang tanpa kita ketahui mengidap fobia akut.

Fobia bisa dibagi menjadi tiga kelompok utama:

  1. fobia pada obyek tertentu, seperti tikus, ular, dsb,

  2. fobia pada situasi, seperti, kesepian, keramaian, ketinggian, dsb,

  3. fobia pada penyakit tertentu, seperti kematian, kanker, dsb.

Bagaimanapun juga, kita yang memiliki rasa takut yang sifatnya irasional, betapapun ringannya, dapat disebut fobia. Yang menjadi permasalahannya adalah tingkatan rasa takut itu sendiri. Bagi fobik yang akut, biasanya ada ketakutan tambahan sebagai akibat fobia tersebut, yang dinamakan lisofobia (ketakutan menjadi gila). Lisofobia dialami oleh orang yang merasa bahwa fobia yang dialaminya sangatlah irasional, terlebih lagi jika orang lain sampai menertawakannya. Sedangkan sang penderita tidak mampu menangani fobia akut yang dideritanya, sehingga lisofobia muncul sebagai jawaban atas ketakutan yang bertambah itu.

Pada tahun dua puluhan, psikolog Amerika, J.B. Watson, melakukan eksperimen terhadap seorang anak kecil yang bernama Albert. Dia tidak takut pada tikus. Pada suatu hari Watson berdiri di belakang Albert yang sedang bermain dengan seekor tikus, saat Albert akan memegang tikus tersebut, dengan spontan Watson memukul palu pada lempengan baja yang dibawanya, sehingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Begitu seterusnya ketika Albert akan memegang si tikus. Karena suara-itu menjadi berkaitan dengan munculnya tikus-tikus itu, maka pada suatu hari Albert tidak mau lagi memegang tikus. Bahkan untuk melihat atau membayangkannya saja dia sudah sangat takut. Eksperimen ini sesungguhnya mengilustrasikan bagaimana kita belajar menjadi seorang fobik. Dari kecil kita telah dilatih untuk menjadi fobia terhadap hal-hal tertentu yang dianggap berbahaya oleh orang tua kita. Fobia tersebut menolong kita untuk bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan, dipegang, maupun dimakan.

Urutan terbangunnya fobia pada diri seseorang adalah SCHI (stimulus, kecemasan, penghindaran, dan imbalan). Adanya stimulus yang menjadi pemicu tumbuhnya fobia, menimbulkan kecemasan yang sangat amat terhadap penderita yang membuat penderita melakukan penghindaran-penghindaran terhadap apa saja yang memicu dirinya mendekati stimulus. Kemudian hasil dari penghindaran itu/imbalannya adalah perasaan takut yang makin membuat penderita tersiksa akan fobianya. Psikoanalisis menganggap bahwa semua fobia berasal dari konflik yang ditekan, terutama konflik masa kanak-kanak, dengan asumsi hubungan dengan keluarga. Seperti pada apa yang dialami salah seorang teman saya. Dia seorang wanita yang fobia kapuk. Jika dia melihat buah-buah pohon randu itu matang dan kapuk yang dihasilkan mulai beterbangan disana sini, wajahnya akan memerah, mual, dan akhirnya menangis. Setelah diselidiki, ternyata dulunya dia memiliki insiden tentang kapuk yang membuat dia trauma terhadap kapuk.

Orang yang bersifat ekstrovert (terbuka) lebih bisa membantu penyembuhan fobia dibandingkan dengan orang yang introvert. Diceritakan Joy Melville dalam bukunya Phobias and Obsessions, ada seorang wanita yang sangat takut pada air saat ia teringat peristiwa tertentu. Ternyata, pada orang yang ekstrovert seperti wanita ini, ia mampu menceritakan peristiwa apa yang menyebabkan ia pobia air, dan pada akhirnya ia tak lagi fobia air. Namun, hal ini tidak berlaku bagi semua fobik ekstrovert.

Sesungguhnya, setiap orang dapat menyelesaikan masalahnya, seberat apapun itu, tanpa mengembangkan fobianya. Kami mendapat beberapa langkah dalam mengatasi fobia, yakni:

  1. relaksasi, dengan mengubah mindset yang tadinya negatif menjadi positif, melakukan hal-hal yang sekiranya membuat pikiran menjadi lebih tenang.

  2. menciptakan program pelatihan bagi diri sendiri untuk mengurangi fobia.

  3. berkhayal, belajar untuk berimajinasi sesuai dengan fobianya. Contoh, jika anda fobia berbicara di depan orang banyak, maka saat anda bertugas berpidato di depan orang banyak, berimajinasilah bahwa tak ada orang di depan anda.

  4. pelatihan kehidupan sebenarnya, menghadapi hal-hal yang sebelumnya anda hindari yang menjadi penyebab fobia.

  5. menghindari kemunduran, harus tetap optimis, dan konsentrasi agar tetap focus pada hal yang sudah didapatkan, jangan sampai mengulang hal yang sudah dicapai sebelumnya guna masa rehab.

  6. hidup tanpa rasa takut, menjaga keseimbangan tubuh, karen adari jasmani yang sehat, tumbuh jiwa yang sehat!

Langkah-langkah ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi, bahkan menghilangkan fobia pada diri kita. Apabila kita merasa kurang yakin, akan lebih baik berkonsultasi pada yang lebih ahli, seperti psikiatri. Saat ini banyak sekali jasa pelayanan bimbingan konseling, jasa psikolog, psikiatri yang dapat membantu kita mengahdapimasalah kejiwaan kita. Fobia, sebagai salah satu penyakit yang menyerang mental kita juga layak untuk dimusnahkan gna ketentraman jiwa kita. Semakin kita mampu mengendalikan sifat cemas dan takut kita akan suatu hal, maka semakin baik kondisi jiwa dan pikiran kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar