15 Juni 2009

^keseimbangan nurani dan otak^

Manusia diciptakan lengkap beserta hati nurani dan akal yang makhluk lain tidak punya. Namun terkadang manusia tidak pernah sadar dan bersyukur akan hal itu. Bisa kita lihat dari bagaimana manusia memanfaatkan kelebihan tersebut. Apakah digunakan untuk hal-hal yang positif ataukah negatif. Mahasiswa merupakan salah satu manusia setengah sempurna dengan segala ilmu yang tertampung dalam milyaran sel otaknya. Namun kadang kala tidak diimbangi dengan penggunaan nurani yang rasional. Dipandang dari kacamata masyarakat, mahasiswa merupakan salah satu media paling jitu dalam menyampaikan aspirasi masyarakat tentang segala tatanan kemasyarakatan, begitu juga jika dipandang dari sisi pemerintah. Karena dengan keberadaan mahasiswa memudahkan para wakil rakyat “mendengar” apa yang diminta masyarakat. Dengan posisi tersebut mahasiswa dituntut untuk peka sekaligus “nekat” demi tersampaikan dan terwujudkannya segala tuntutan masyarakat yang kebanyakan bersifat menentang kebijakan pemerintah. Bisa dikatakan mahasiswa merupakan grade pertama manusia yang bebas. Mengapa? Karena untuk pertama kalinya seseorang diberi kebebasan berfikir, kebebasan berperilaku setelah beberapa tahun terikat peraturan sekolah atau sederajat. Apabila kebebasan itu tidak diimbangi dengan pemasukan ajaran-ajaran keimanan dan pengertian mengenai arti kebebasan yang positif, maka bisa jadi mahasiswa bukan lagi berperan sebagai manusia yang memiliki kepribadian dan otak yang lebih, malah menjadi manusia yang “bobrok” dan hanya menjadi sampah masyarakat. Ambil saja contoh bagaimana seorang mahasiswa mengambil sikap dalam menuntut adanya penurunan biaya pendidikan yang bukannya semakin rendah malah melonjak tiap tahunnya. Sebagai seorang mahasiswa yang peka terhadap hal tersebut dan mau peduli dengan nasib pelajar lain yang status ekonominya lebih rendah, maka ada dua opsi yang bisa jadi pilihan seorang mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya, diplomasi atau demonstrasi. Kenyataan yang bisa dilihat baik secara langsung maupun melalui media massa, langkah awal yang diambil oleh mahasiswa yang intelek adalah dengan berdiplomasi dengan pihak jajaran pimpinan universitas melalui forum terbuka terlebih dahulu. Berbagai argumen dan segala bukti-bukti konkret dikerahkan demi terwujudnya penurunan biaya kuliah. Meskipun kerap disertai perdebatan yang memicu emosi, namun hanya sebatas emosi yang positif dan tanpa adanya akibat fatal yang ditimbulkan. Langkah yang kedua yang bisa jadi dilakukan oleh mahasiswa intelek yang belum berhasil menggebrak keputusan pimpinan universitas untuk menurunkan biaya kuliah adalah dengan berdemonstrasi. Akan tetapi, bagaimanakah demonstrasi yang boleh dilakukan? Selama ini, kita mengetahui berbagai macam cara demonstrasi dan bisa membandingkan sendiri bahwa demonstrasi harusnya tanpa adanya akibat fatal yang ditimbulkan. Hal ini harus ditekankan kepada para mahasiswa guna terciptanya penyampaian aspirasi yang positif dan tidak ada pihak yang dirugikan akibat demonstran yang brutal. Lain halnya dengan demonstrasi positif, ada kalanya mahasiswa tersulut amarahnya sehingga tak lagi mengindahkan nilai nurani dan rasio dalam melakukan demonstrasi. Contohnya saja dengan cara menjahit mulutnya demi mengambil kepercayaan masyarakat bahwa mereka benar-benar sedang melakukan mogok makan. Selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu rela mengosongkan perut dan bisa jadi akhirnya masuk rumah sakit. Lalu, siapa yang akan mengganti biaya perawatannya? Orang tua akan menuntut pihak universitas untuk mengganti biaya perawatan seluruh mahasiswa yang mengikuti acara mogok makan. Darimana uang tersebut? Tentunya diambil dari SPP mahasiswa. Jadi, biaya kuliah bukannya diturunkan malah dinaikkan untuk mengganti perawatan mahasiswa. Ada juga yang dengan nekat menyandera pimpinan universitas. Dan juga ada yang dengan sengaja merusak sarana dan prasarana kampus yang jika dilihat lagi malah berakibat pengeluaran universitas makin membengkak guna memperbaiki/mengganti sarana prasarana kampus yang ujung-ujungnya berakibat naiknya biaya kuliah. Lalu untuk apa itu semua kalau pada akhirnya makin menambah masalah dan merugikan pihak lain? Mungkin penyelesaian dari semua permasalahan ini harus kita gali lagi dan lagi, agar tidak ada pihak yang dirugikan lagi akibat salah langkah. Tidak harus dengan mengambil tindakan-tindakan yang memperburuk keadaan, namun penyodoran solusi-solusi jitu dari mahasiswa yang notabene lebih bisa berpikir kritis, mungkin bisa membantu pihak pimpinan guna menekan biaya pendidikan. Dalam hal ini, sekali lagi otak dan nurani harus bekerjasama secara sinergi agar tercipta mahasiswa yang benar-benar intelek, bukannya mahasiswa dengan berbagai kegiatan anarkis. Karena masa depan generasi selanjutnya ada di tangan kita. Bila kita menciptakan gerakan-gerakan positif, maka junior kita akan ikut positif. Sebaliknya, bila kita menciptakan gerakan-gerakan negatif, mungkin generasi selanjutnya akan ikut menjadi “bobrok” bahkan lebih buruk lagi. Selamatkan Indonesia dengan cara yang positif, jauh dari kata menyimpang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar